ak soal terbuka atau tertutup, prinsipnya dalam setiap 1 – 3 menit harus terjadi clean up udara atau pergantian udara dalam kandang. Mati angin perlu jadi perhatian, tenaga produksi harus paham dynamic ventilation system
Peternak dituntut untuk jeli dalam memutuskan tipe kandang seperti apa yang pas dengan kondisi lingkungan serta modal. Beda daerah tentu beda kebutuhan kandangnya. Yoseph Setiabudi, peternak layer di Tangerang menilai, performa hasil panen dari kandang tertutup (closed house) berbeda dengan kandang terbuka (open house). Kandang tertutup akan memberikan hasil yang lebih baik. Tetapi, sambung Yoseph, jika semua aspek manajemen baik, performa kandang terbuka di daerah dingin akan mampu mengimbangi performa kandang tertutup. “Seperti di Bromo, misalnya,” sebut dia.
Pengaruh suhu lingkungan adalah tantangan utama di kandang terbuka. Demikian menurutSuryo Suryanta, pakar manajemen layer dan broiler. Secara fisiologis ayam membutuhkan udara, dalam hal ini oksigen, dengan jumlah banyak guna menunjang metabolisme yang cepat. “Itu sebabnya kondisi cuaca yang lembap maka akan mempengaruhi ritme metabolisme ayam. Kelembapan hanya bisa diatasi oleh ventilasi, mengondisikan udara kandang segar selalu,” jelas Suryo.
Dalam cuaca lembap, lanjut dia, ayam mengalami kesulitan fisiologis. Artinya ayam yang ritme metabolismenya tinggi, di saat kondisi lembap akan sulit mencapai efisiensi pakan karena kehilangan nutrisinya besar. Maka pilihan menggunakan kandang tertutup dengan negative pressure ventilation system, dapat menjadi solusi pertama. Kandang jenis ini pun sudah umum ada di Indonesia.
Kandang Terbuka
Tapi faktanya masih banyak peternak bertahan menggunakan kandang terbuka. Dede Heri, Regional Manager PT Medion mengemukakan dua alasan utama peternak memilih membangun kandang terbuka. Pertama biaya pembangunannya murah, dan kedua tidak perlu tenaga terampil untuk mengoperasikan peralatan yang digunakan.
Aris Kumaidi, Kepala Produksi PT Trisatya Mandiri membenarkan cuaca masih menjadi kendala utama untuk kandang tipe terbuka. Perubahan cuaca saat ini dinilainya masuk dalam kategori sangat ekstrem bagi ayam, sehingga berat bagi para peternak untuk mengejar produksi maksimal. Yang kedua, lanjut dia, faktor sosial. Bertambahnya penduduk, menjadikan peternakan kian berdekatan dengan pemukiman, sehingga tak jarang muncul keluhan dari warga soal lalat, bau, dan lain-lain.
Kandang PT Trisatya Mandiri yang ada di 80 titik lokasi, tersebar antara lain di Pantura, Bekasi, Karawang, Sukabumi, Cianjur, dan Bogor, kini sekitar 50% sudah dimodifikasi untuk mengadopsi sistem ventilasi negative pressure meski tak sepenuhnya closed house. Sisanya, 50% masih terbuka. Aris menyebut kandang modifikasi semi-closed house tersebut dengan istilah tunnel(terowongan). Transformasinya dari kandang terbuka, kemudian dimodifikasi mengadopsi positive pressure, dan belakangan tunnel. Tujuan utamanya adalah mendongkrak performa dan mengeliminasi problem sosial, lalat dan bau. “Kita ikuti datanya, ternyata yang bagus itu yang mengarah ke closed house,” ungkapnya.
Meski sama-sama berjenis sistem ventilasi tekanan negatif, kandang semi-tertutup miliknya tersebut berbeda pada penggunaan cooling pad dibandingkan kandang tertutup. Menurut Aris, kandang semi tertutup tidak menggunakan cooling pad, namun penggunaan peralatan lainnya seperti kipas sedot (exhaust fan) tetap digunakan.
Sementara sebagian kandangnya yang masih terbuka, lanjut Aris menjelaskan, dibuatnya ventilasi tekanan positif (positive pressure ventilation system) untuk mengatasi problem cuaca dan iklim. Teknik ini memanfaatkan kipas dorong guna mengalirkan udara di dalam kandang ke luar, sehingga terjadi sirkulasi udara (baca TROBOS Livestock Edisi 196/2016). Teknik ini pada beberapa kandang ia kombinasikan dengan pengembun air yang butirannya sangat kecil. Menurutnya itu adalah salah satu terobosan pada kandang terbuka.
Sama-sama mengaku memanfaatkan teknik tekanan positif sebagai ventilasi kandang, tetapi Suryo membuatnya berbentuk seperti lorong angin dengan kipas di luar kandang sebagai inlet udara segar. Perangkat ini dikembangkan sendiri olehnya. Menurut Suryo, tingkat kematian ayam dapat ditekan hingga 50%. Sebelum menggunakan sistem tersebut Suryo mencatat kematian di kandangnya bisa mencapai 10% dari populasi, kini hanya 5 - 6%. Kandang yang digunakannya untuk pengamatan adalah kandang postal di daerah Tangerang. Ketika TROBOS Livestock bertandang ke kandang tersebut, suhu luar tercatat 33,3oC sementara di dalam kandang suhu 29,1oC dengan nilai RH 71%. Indeks performa (IP) untuk periode sebelumnya dikemukakan Suryo adalah 330.
Suryo membenarkan, meski berbiaya lebih murah baik dari pembuatan dan operasionalnya, tetapi kandang terbuka memiliki risiko gagal lebih banyak. Sehingga harus dibantu dengan modifikasi seperti penerapan sistem ventilasi tekanan positif. Sistem tersebut menurutnya sangat sederhana dan dapat digunakan dengan listrik rumahan serta biaya pembuatan yang tidak mahal. “Investasi murah tapi ayam tercukupi kebutuhan udaranya. Kandang seperti ini memberikan kontribusi pada pencapaian performa ayam. Ayam tercukupi kebutuhannya untuk metabolisme oksidatif, itu yang terpenting. Dan untuk kandang terbuka, parameter performa tidak harus setinggi standar,” jelasnya.
Dengan diterapkannya sistem ventilasi tekanan positif, udara segar dari luar diinjeksikan ke dalam kandang sehingga memberi tekanan di dalam kandang yang menyebar dan membuat udara dari dalam kandang keluar. Secara dasar, prinsip yang digunakan sama dengan sistem ventilasi yang ada di kandang tertutup. Ia mengaku, yang dia kembangkan sejatinya telah digunakan pada kandang tertutup untuk pureline (galur murni) yang ada di Eropa.
Soal Mati Angin
Kandang terbuka ada yang bertipe postal (di tanah), dan ada yang panggung. Dan penggunaan kandang panggung, memiliki kelebihan yang tidak dimiliki kandang postal dalam soal sirkulasi. Di daerah dengan laju angin tinggi, fungsi kolong kandang akan memberikan tambahan udara bagi ayam. Sayangnya, belakangan kandang panggung pun performanya tidak lebih baik karena banyak lokasi mengalami mati angin (tidak ada angin sama sekali). “Ini masih sedikit dibicarakan, meski peternak sudah sadar dengan perubahan arah angin dan jumlah angin. Terutama pada pergantian angin darat ke angin laut, maka dipastikan saat itu tidak ada angin sama sekali,” papar Suryo.
Gambarannya, satu kandang terbuka yang baru saja ditanganinya di Serang, Banten. Hasil pengukuran, kecepatan angin di luar kandang dengan lebar 15 meter tersebut sebesar 2 m/s, ketika angin berembus. Sementara pada dinding kecepatan angin sebesar 0,8 m/s di saat ada angin. Tetapi ternyata angin dari luar tidak sampai ke dalam kandang. “Artinya terjadi blank spot, tidak ada angin yang bergerak di dalam kandang,” terangnya.
Sumber masalahnya adalah mati angin. Dikalkulasi, angin berembus hanya selama 20 menit dalam satu jam. Dalam sehari di kandang tersebut angin berembus sebanyak 5 kali dalam 2 jam, total sehari hanya 70 kali hembusan angin. Sedangkan selama 24 jam, metabolisme ayam luar biasa tinggi. Tak ayal, performa genetik ayam yang memang memiliki metabolisme tinggi akan terganggu.
Masalah mati angin, menurut Suryo, perlu mendapat perhatian tenaga produksi. Perlu paham akan dynamic ventilation system. Baik aplikasi kandang tertutup atau kandang terbuka, kebutuhan udara mutlak terpenuhi agar ayam menjadi nyaman. Ia menambahkan, setidaknya dalam setiap 1 – 3 menit harus terjadi clean up udara atau pergantian udara dalam kandang. “Kalau kandang ini memiliki waktu clean up 2 menit, maka tiap 2 menit udara sudah ganti baru lagi,” ucapnya menjelaskan.
Tak hanya di broiler, di layer pun Yoseph membenarkan, produktivitas kandang terbuka bergantung pada lokasi. “Di Tangerang misalnya, performa kandang terbuka jelas kalah dengan kandang tertutup. Karena Tangerang memiliki suhu panas yang sama dengan permukaan laut Jawa,” jelasnya.
Yoseph pun berpendapat mustahil bagi peternak layer dengan kandang terbuka untuk mendapatkan FCR (feed convertion ratio) 2,1. Puncak FCR bagi kandang terbuka di sekitar Tangerang menurut dia di kisaran 2,2 – 2,3. “Tetapi kelebihan kandang terbuka di Tangerang, tidak pusing dengan listrik, tidak pusing dengan biaya perawatan, meski biaya operasional lebih banyak karena 1 tenaga kerja mengelola 7 ribu ekor layer,” lanjut dia.
Sementara menurut Suryo, salah satu kelebihan kandang terbuka untuk kandang layer adalah mampu mencapai BEP (titik impas) pada pekan ke-60, dengan capaian harus di kisaran 17 – 20 kg per ekor per masa produksi (90 minggu). Dan ini terpenuhi jika harga telur berada di Rp17 ribu per kg. Maka tidak salah jika ada peternak yang berpendapat kandang terbuka lebih cocok ketimbang kandang tertutup. Tapi ia mengingatkan, kandang terbuka memiliki keterbatasan yang mengakibatkan kehilangan nutrisi pada ayam terlalu banyak.
Nilai Lebih Kandang Tertutup
James Wu, Marketing Manager AGCO GSI (Malaysia) Sdn Bhd, mengajak peternak untuk melihat gambar besarnya. Pertama, kandang tertutup dinilai lebih ramah lingkungan dan ramah juga ke permukiman yang ada di sekitar kandang. “Kandang sistem ini memberikan keuntungan dari sisi ini. Kandang terbuka lebih banyak memiliki masalah lingkungan, terutama bau dan lalat. Isu biosekuriti juga menjadi salah satu isu penting kala membahas kandang terbuka,” jawabnya.
Di kandang terbuka, lanjut James, udara dan serangga seperti lalat dapat dengan bebas masuk tanpa adanya pengamanan biosekuriti yang bagus. Sehingga dapat menularkan penyakit ke seluruh ayam yang ada di dalam kandang. Udara dan serangga ini secara langsung maupun tidak, akan mempengaruhi kehidupan tetangga kandang. Jadi, dengan kandang tertutup peternak diharapkan dapat mengontrol lingkungan yang lebih baik. Infeksi dari luar otomatis dapat dicegah dan iklim dalam kandang dapat dengan mudah diatur. Efeknya, lalat otomatis berkurang, dan bau tidak ada sehingga lebih ramah kepada tetangga kandang.
Sementara bagi peternak, kandang tertutup sangat mudah untuk diatur, dan mampu menekan biaya operasional karena ditujukan untuk investasi jangka panjang. Bukan didasari seberapa mahal harga kandang, peternak juga harus mempertimbangkan kandang tersebut mampu memberikan efek lingkungan yang baik bagi ayam. “Ditunjukkan dengan pencapaian bobot badan yang melampaui standar dan produktivitasnya meningkat,” jelas James.
Tapi ia tak menampik, kandang tertutup menuntut pemeliharaan tertentu. “Karena itu perhatikan kualitas bahan bangunannya, dan desain juga harus bagus pula. Sehingga kekhawatiran peternak dapat diminimalkan terutama pada kekhawatiran akan karat,” imbuh dia.
Dede juga mengutarakan beberapa alasan penerapan kandang tertutup. Kepadatannya dapat mencapai 30 kg/m2, sedangkan kandang terbuka berkisar 16 kg/m2, otomatis peternak akan memperoleh hasil panen lebih banyak dengan luasan kandang yang sama. Kemudian, kondisi di dalam kandang tidak akan terpengaruh oleh fluktuasi cuaca dan lingkungan di luar kandang, dengan perangkat kelengkapannya temperatur dapat diatur sesuai kebutuhan ayam. Ujungnya, performa juga lebih baik.
Sementara menyoal biaya operasional, Dede berpendapat tidak ada beda antara kandang terbuka dan tertutup. “Semuanya pada dasarnya sama. Namun untuk kandang tertutup biaya listrik per periode dapat mencapai Rp 6 juta dengan ukuran kandang 120 X 12 m2 dua lantai,” sebutnya.
Senada dengan James, Dede pun menyatakan, bau amonia dan gangguan lalat di lingkungan kandang seperti kerap terjadi di kandang terbuka dapat ditekan. “Tetapi, karena kandang tertutup sarat akan teknologi, maka nilai investasinya juga lebih besar dari kandang terbuka,” tambahnya.
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock Edisi 211/April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar